CSR Layaknya Bukan Marketing Tool


Corporate Social Responsibility (CSR) seharusnya menjadi kesadaran yang tumbuh dari tiap perusahaan. Bentuknya bisa bermacam-macam, disesuaikan dengan situasi, lokasi, dan jenis perusahaan tersebut. Bila sudah begitu, CSR sebenarnya tidak atau belum menjadi sesuatu yang harus diformalkan dalam undang-undang. 
“Pemerintah lebih baik menjadi motivator supaya semakin banyak perusahaan yang mau melakukan CSR. Kalau diatur, kecenderungan yang kemungkinan besar terjadi adalah CSR cuma berupa bagi-bagi hadiah atau sumbangan dalam bentuk tunai. Ini tidak mendidik masyarakat, tapi justru menjerumuskan,” kata Christian P.B. Halim President Director Pulau Umang Resort & Spa.  
Christian tidak sekadar asal bicara, ia sudah membuktikan dengan tindakan. Pulau Umang yang justru “hanya” merupakan perusahaan jasa pariwisata sejak awal berdiri sudah memikirkan bagaimana melakukan suatu program untuk memberdayakan masyarakat sekitar.
Terlebih karena berada di wilayah Ujung Kulon, Pulau Umang menyediakan sebuah resort dengan pemandangan alam yang menawan untuk berekreasi dan bersantai. “Keberadaan Pulau Umang yang berdampingan dengan Cagar Alam Ujung Kulon merupakan suatu ‘berkat’ luar biasa. Jadi, kami memiliki tekad untuk tetap melestarikan kawasan ini dengan baik,” jelasnya. Niat untuk melakukan CSR ini bahkan tidak surut meski kondisi bisnis wisata yang ada di lepas pantai terpuruk sejak bencana Tsunami Aceh tahun 2004. Pulau Umang tetap menjalankan program yang sudah dicanangkan. Dorongan melakukan CSR dalam kondisi sulit pun tidak membuat mereka menjadikan program ini sebagai marketing tool-nya. Pembicaraan CSR justru terjadi ketika urusan bisnis sudah selesai.
Meski begitu, impaknya pada volume hunian tetap ada. Berdasarkan pengalaman selama ini, Christian menjelaskan, biasanya orang akan lebih appreciate bila berwisata di tempat yang peduli dengan lingkungan sekitar. Karena akan lebih aman dan nyaman. “Tapi, bisa dipastikan bahwa dalam promosi Pulau Umang tidak ada poin yang menyebutkan kami memiliki program CSR.”
Apa saja program CSR Pulau Umang yang sudah bergulir sejak berdiri tahun 2004? Di antaranya, memelopori sebuah program terpadu untuk wilayah tersebut, yang diberi nama Ujung Kulon Conservation Society (UCS).  Salah satu bentuk program ini adalah sosialisasi pentingnya menjaga kelestarian alam. Kemudian, yang patut dicontoh oleh pengelola wisata alam yang lain adalah program penanaman sejuta pohon. “Jadi, setiap tamu yang berwisata di Pulau Umang akan menerima satu pohon yang akan ditanam di wilayah itu,” tambahnya. Ia mengatakan, tujuan yang ingin dicapai di sini adalah mengajak orang untuk tidak hanya mengeksploitasi dan mengeksplorasi alam. Karena tanpa disadari tindakan yang membahayakan ekosistem akan membuat manusia terkena dampak negatif, seperti pemanasan global.
Lalu, ada pula Community Development Program untuk masyarakat desa Kampung Ciparahu, Kecamatan Sumur (tempat Pulau Umang berada). Program ini memfasilitasi pengadaan air bersih untuk desa-desa yang lokasinya terisolasi. “Di desa-desa yang terisolir, air bersih menjadi sesuatu yang mahal. Kalau pun ada, proses untuk mengalirkannya susah karena posisi sumber air yang rendah. Kondisi seperti ini menjadi perhatian kami,” terangnya.
Dalam menjalankan programnya, lanjut Christian, Pulau Umang tidak bertindak bak sinterklas yang turun dari kereta. Namun, melibatkan penduduk sekitar untuk terlibat aktif. Misalnya dengan merekrut sukarelawan yang berasal dari masyarakat setempat. Tugas sang sukarelawan adalah mengidentifikasi akar masalah dan mencari solusinya. “Sudah tentu, ada staf kami yang terlibat. Intinya, dilakukan secara gotong royong.” Supaya tepat sasaran, tepat tujuan, dan tepat solusinya, identifikasi masalah menjadi hal penting dalam melaksanakan CSR. Kemudian, program tersebut harus berkelanjutan. Dengan begitu, masyarakat tidak merasa ditinggalkan. Namun, ketika masyarakat sudah mandiri dan mentas, objek CSR harus diubah. Baik dengan bentuk program yang berbeda ataupun sasaran spesifik yang lain. 
Tidak bisa disangkal bahwa kucuran dana yang tepat bisa menjadi trigger ampuh pertumbuhan ekonomi masyarakat. Maka dari itu, Pulau Umang memposisikan sebagai motor penggerak dalam menyusun dana pembangunan bergulir untuk masyarakat. Wujudnya dengan membuat Program Tunas Mandiri. Salah satu kegiatan dalam program ini nantinya disebut Pinjaman Nurani. Kalau dikategorikan, pinjaman tersebut tidak bisa dimasukkan dalam bentuk pinjaman apa pun. Karena pinjaman ini tidak berbunga, tapi juga bukan syariah.
Orang yang mendapat pinjaman, jelas Christian, hanya wajib mengembalikan pinjaman pokok. Kalau bisa mendapatkan keuntungan dari pinjaman itu lalu mengembalikan sekian persennya, maka disebut sumbangan dan akan ditambahkan pada modal bergulir tersebut. “Artinya, kalau yang menyumbang semakin banyak, maka pinjaman yang diberikan ke orang lain akan semakin besar pula. Sumbangan tidak harus berbentuk uang, gabah pun bisa.”
Setelah menggulirkan Pinjaman Nurani, bukan berarti pekerjaan selesai. Tugas penting justru sedang menanti. Yaitu mengedukasi masyarakat bagaimana memanfaatkan uang tersebut supaya optimal. Ini dilakukan dengan menyelenggarakan pendidikan kewirausahaan, dengan mendorong mereka untuk berusaha. Salah satu usaha yang akan dikembangkan adalah bisnis nasi bakar Tunas Mandiri yang akan diwaralabakan. 
“Jangan membuat masyarakat terbiasa menerima uang yang lama-lama akan merasa menjadi hak mereka sebagai penduduk sekitar atau orang tidak mampu. Akhirnya, kalau tidak diberi, demo atau minta bantuan,” paparnya. Bagaimana cara Pulau Umang membiayai program CSR tersebut? Christian menjelaskan bahwa mereka tidak sendirian, namun melibatkan banyak pihak. Baik dari pemerintah, tokoh nasional, hingga pengunjung resort. Di UCS, misalnya, ada beberapa tokoh yang membantu seperti Marzuki Usman dan Agum Gumelar. Kemudian, dana juga bisa didapat dari fund raising para wisatawan.
Lantas, apa kunci keberhasilan program CSR Pulau Umang? Menurutnya, ada beberapa hal pokok. Pertama, CSR adalah sebuah panggilan nurani dari pemilik perusahaan tersebut. Kedua, implementasi CSR harus dimulai dari sebuah proses identifikasi akar masalah, lalu dicari solusi yang melibatkan masyarakat. Kemudian, harus bersifat suistainable and responsible development program. “Terakhir, yang tidak kalah penting, adalah jangan sampai menimbulkan conflict of interest dengan bisnis yang ditekuni,” tegas Christian.
diambil dari ww.marketing.co.id

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS